Anies Baswedan membahas buku Parenting Without Borders karya Christine Gross-Loh di kanal YouTube pribadinya

07.49

Pada Jumat malam, 17 Januari 2025, Anies Baswedan kembali menyapa publik lewat kanal YouTube pribadinya. Kali ini, ia tidak berbicara soal politik atau isu nasional, melainkan sebuah buku berjudul Parenting Without Borders karya Christine Gross-Loh, Ph.D. Topik pengasuhan anak ini dipilih karena dianggap penting sekaligus relevan bagi para orang tua di Indonesia.


Anies Baswedan membahas buku Parenting Without Borders yang ditulis oleh Christine Gross-Loh. (Foto: YouTube Anies Baswedan)

Menurut Anies, penulis buku ini memiliki latar belakang yang sangat menarik. Christine Gross-Loh adalah doktor lulusan Harvard University di bidang sejarah Asia Timur dan seorang ibu dari empat anak yang pernah dibesarkan di Amerika dan Jepang selama lima tahun. Pengalaman pribadi sekaligus akademis inilah yang membuat sudut pandangnya unik.

“Tujuannya bukan sekadar menentukan mana yang lebih baik, tetapi untuk membuka mata kita terhadap berbagai pendekatan,” ujar Anies saat menjelaskan alasan mengapa buku ini penting.

Buku Parenting Without Borders mengajak pembaca menjelajahi praktik pengasuhan anak di berbagai belahan dunia, mulai dari Jepang, Swedia, Finlandia, Tiongkok, hingga Prancis. Di Jepang, misalnya, anak usia enam tahun sudah terbiasa berangkat sekolah sendiri menggunakan transportasi umum. Sementara di Finlandia, anak-anak justru memiliki waktu istirahat lebih banyak dibandingkan negara lain meski prestasi akademik mereka sangat tinggi.

Hal yang berbeda tampak di Amerika Serikat, di mana orang tua cenderung sering memberi pujian demi meningkatkan kepercayaan diri anak. Di beberapa negara lain, pendekatan ini tidak begitu menonjol. Mereka lebih menekankan kerja keras dan kontribusi kepada komunitas.

Anies menegaskan bahwa setiap praktik pengasuhan anak lahir dari konteks budaya yang spesifik. Karena itu, tidak tepat jika orang tua Indonesia langsung meniru tanpa mempertimbangkan kondisi lokal. “Saya sering mengatakan, adaptasi lebih penting daripada adopsi,” tegasnya.

Dalam refleksinya, Anies juga menghubungkan isi buku dengan praktik pengasuhan khas Indonesia. Gotong royong, menurutnya, adalah kekayaan budaya yang sudah lama menjadi bagian dari cara masyarakat membesarkan anak. Dukungan komunitas tidak kalah penting dibanding pola asuh keluarga inti.

Suami dari Fery Farhati Ganis, M.A., itu juga mengajak orang tua untuk menimbang kembali keseimbangan antara belajar dan bermain. Terinspirasi dari Finlandia, ia mempertanyakan apakah pekerjaan rumah anak-anak Indonesia sudah sesuai dengan usia mereka atau justru terlalu berat hingga mengurangi waktu istirahat dan bermain.

Meski penuh inspirasi, Anies mengingatkan agar pembaca tetap berhati-hati. Tidak semua praktik dari luar negeri bisa diterapkan begitu saja di Indonesia. Apa yang berhasil di kawasan urban, belum tentu cocok di pedesaan. Kondisi keamanan, infrastruktur, dan norma sosial harus menjadi pertimbangan utama.

Pada akhirnya, pesan utama yang disampaikan Anies dari buku Parenting Without Borders adalah bahwa tidak ada satu cara pengasuhan anak yang paling benar. Orang tua dituntut untuk kreatif, fleksibel, dan mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak sekaligus budaya tempat mereka tumbuh.